Ego Ber-Ibadah

Bismillah,
long time no posting.

jadi, postingan ini terinspirasi dari postingan ig nya mas @kristancuk. Saya follow gara-gara ketemu di instagram @30haribercerita

siapa yang pernah nggrundel waktu ibadah? buat yang muslim misalnya, nggrundel waktu solat di mushola yang mukenanya bau, nggrundel waktu lagi pengajian terus kesemutan, nggrundel waktu umroh kok gak sesuai sama yang di harapkan?

Dibawah ini ada caption copas dari postingan masnya. Klik sini kalo liat versi aslinya di ig.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
(REPOST DENGAN EDITAN)

.
IBADAH YANG 'SEMPURNA'
.
Sebagai orang yang terbiasa ke tempat ibadah tiap minggu selama bertahun2, harus gw akui seringkali gw terjatuh dalam satu hal yang sebenarnya gw tau salah. Gw memanfaatkan pengalaman bergereja yang cukup lama itu sebagai justifikasi untuk 'menilai' ibadah yang gw ikuti.
.
Sambil ibadah berjalan, otak gw berproses menilai segala sesuatunya. Pujian, lagu, kualitas khotbah, cara penyampaian, kesiapan pelayan, urusan teknis sound system, dan sebagainya.
.
Datang dengan ekspektasi ibadah yang 'sempurna,' lalu menggerutu saat menangkap kesalahan. Entah itu lagunya nadanya ketinggian, masuk intronya salah, pengkhotbahnya membosankan, hingga mungkin ruangannya kurang nyaman. Lalu pulang ibadah dengan perasaan gatel karena ibadahnya kurang 'nendang' atau apapun itu.
.
Dan itu, bener2 hal nyebelin yang menghambat relasi dengan Tuhan.
.
Ketika harusnya ibadah bisa jadi momen refleksi, yang ada malah pemuasan ego pribadi dengan segala penilaian, seolah2 kita yang paling tau ibadah yang layak di itu seperti apa.. .
Manusia itu ga ada apa2nya kalo dibandingkan Tuhan. Pemuka agama paling hebat pun ketika menyampaikan pesan kepada umat tidak akan bisa sempurna sesuai persis dengan yang seharusnya Tuhan ingin sampaikan, karena berbagai distorsi yang dapat terjadi. Pun begitu dengan pihak2 penyelenggara ibadah lainnya.
.
Satu hal yang gw sedang usahakan selama ibadah formal adalah menghargai ketidaksempurnaan ibadah. Gak usah dalam pikiran kritik sana sini selama ibadah berlangsung. Coba fokus pada hal2 baik yang bisa dipetik, sekecil apapun. Nikmati ibadah apa adanya, dan nikmati kesalahan2 yang terjadi sebagai perayaan bahwa manusia memang tidak sempurna, dan kerennya Tuhan masih mau pakai kita untuk melakukan pekerjaanNya dan menyatakan kemuliaanNya.
.
Bagian kita sebagai peserta ibadah, lebih penting dari sebagai pengkritik, adalah mengikuti ibadah sefokus mungkin sehingga ibadah itu bisa mengubah hati kita, sekecil apapun, sehingga kita disegarkan kembali motivasinya untuk hidup memuliakan Tuhan.
.
Selamat hari Minggu dan selamat merayakan kenyataan bahwa Tuhan terus berkarya melalui kita manusia2 penuh dosa ini.. :)

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Oke, biarkan saya melihat dari sudut pandang saya.
Menarik, banget. Bagaimana penulis menyimpulkan, tanpa disadari kita sebagai manusia melihat ibadah sebagai pemuasan ego seseorang terhadap kualitas ibadah, yang jatohnya kita jadi gak menikmati momen menghadap Tuhan, dengan menyalahkan fasilitas yang udah disediakan. Contohnya saya. Di fakultas saya ada Mushola beserta mukena untuk perempuan yang mau shalat. Berhubung kampus Arsitek jaraknya jauh dari Mushola Teknik dan ada kampus saya ada di lantai tiga, pilihan jatoh buat numpang solat di ruang TU dan yang mukenanya lebih bersih. Suatu kondisi saya harus sholat di Mushala Fakultas, dan apa yang terjadi? Diperjalanan kampus ke Mushola dan belum sampai saya udah nggrundel. Membayangkan mushola yang tidak berkarpet sakit ketika sujud, dan mukena besama yang baunya mengganggu kekhusyukan shalat saya. yes, saya membuat penilaian, dengan menyalahkan fasiltasnya. 

Saya akhirnya melakukan perbandingan. Dengan mushala milik kampus FIB yang lebih ramah dengan perempuan, tempat wudhu yang nyaman, mushala dengan karpet sehingga nyaman ketika sujud, mukena yang bersih dan wangi sehingga saya tidak harus tahan nafas. Saya menilai, ibadah bisa jauh lebih khusyuk kalo shalat di mushala FIB.

Tapi esensi ibadah bukan disitu kan? 
Bagaimana kamu menghadap Tuhanmu dan menikmati momen itu. Cuma kamu dan Tuhan. Bukan hanya sekedar menjalankan kewajiban, tapi lebih dari itu. Semestinya adalah bagaiaman kita berusaha menikmati segala kekurangan daripada sibuk melakukan penilaian sampai akhirnya lupa bahwa dari ayat-ayat yang dibaca saat shalat adalah memohon ampunan.  

Dari postingan diatas sebenernya gak cuma berlaku untuk konsep dalam beribadah aja, its mean melakukan hubungan dengan Tuhan, tapi berlaku juga ketika manusia sebagai hamba Tuhan menjalani semua fasenya dalam hidup yang gak seterusnya baik-baik aja. Yes, buat menjalani hidup kamu punya pilihan, menikmati, atau menggerutu, ketika yang kamu hadapi gak seperti yang kamu harapkan. Menikmati berarti ada hal baru yang bisa dipelajari, menggerutu berarti jadi capek sendiri. Pilihan sih.

Sekian,
Salam sayang dari saya, mwah!

Komentar